Konflik. Revolusi.
Propaganda. Tiga kata tersebut seakan menjadi konsumsi rutin masyarakat dunia
jika berbicara mengenai kondisi negara – negara di tanah Arab.
Tanah Arab sendiri
meliputi seluruh semenanjung Arab, teluk Persia, dan Afrika Utara. Meliputi
negara dari Iran, Suriah, hingga Maroko. Dan tentu saja, tanah Palestina yang
menjadi polemik ribuan tahun juga termasuk di dalamnya.
Apa yang terjadi di
negara – negara tersebut meningkat dalam hal intensitas dan cakupan wilayah
setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Lupakan tentang Perang Irak yang dicetuskan
Amerika Serikat, karena kita berbicara tentang revolusi politik di Tunisia,
Mesir, Libya, konflik Palestina, hingga kemungkinan masih berlanjut dalam
periode yang akan datang jika melihat situasi di Turki, Suriah, Lebanon, dan
(lagi – lagi) Mesir.
Suksesnya revolusi di
beberapa negara yang berhasil menggulingkan pemimpin diktator mereka jelas
menggiring keseluruhan dunia Arab ke wilayah politik baru bernama demokrasi.
Dengan di-backing oleh teknologi masa kini yang memungkinkan propaganda
tersebar cepat, luas, dan memungkinkan bertambahnya varian baru propaganda
politik, demokrasi cepat atau lambat akan menjadi sesuatu yang masif dan akan
berhadapan langsung dengan 2 hal yang selama ini menguasai tanah Arab : sistem
Teokrasi (Kesultanan/Sheikh dan diktatoral) dan legitimasi Israel.
Untuk poin pertama,
sistem Teokrasi, pertandingan 1 vs 1 melawan demokrasi sudah dimulai sejak
ditiupkannya benih – benih revolusi di Arab Maghribi / Afrika Utara. Teokrasi
kelas bawah seperti di Tunisia hingga diktatoral kelas kakap seperti di Libya
dan Mesir sudah berhasil di-knock out. Sementara untuk poin kedua,
legitimasi Israel, ini sedikit unik. Karena, demokrasi jelas tidak menyerang
Israel secara langsung karena Israel justru sudah menerapkan sistem ini
terlebih dulu di tanah Palestina. Tapi, Israel waswas. Poin unik yang mereka
miliki malah berkembang di negara – negara oposisi, sehingga legitimasi Israel
jelas terancam. Apa jadinya kalau pemimpin pilihan rakyat di Libya kelak
merupakan anti-Israel? Apa jadinya kalau Perdana Menteri Turki nanti adalah
seorang Islam radikal? Keberadaan mereka jelas cukup terancam, walaupun Amerika
Serikat selalu siap sedia kapanpun dibutuhkan pasti akan membantu negara Zionis
tersebut.
Aluff Benn,
kolumnis Israel, menulis di harian Haaretz (18/4/05) bahwa “aspek
yang cukup mengganggu atas demokrasi Arab adalah implikasinya bagi Israel.”
Masuknya demokrasi di negara-negara Arab akan membuat Israel kehilangan
karakter uniknya serta “persamaan nilai” dengan Amerika Serikat. Dengan adanya
kebebasan memilih, kalangan pemilh Arab dapat saja memilih kelompok Islamis
“ekstrim”.
Kelangsungan
eksistensi mereka di tanah Palestina cepat atau lambat jelas terancam. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa masyarakat grassroot di seluruh Arab sangat
membenci tindakan Israel terhadap Palestina.
Hal terpenting
bagi Israel saat ini adalah mengimplementasikan penarikan unilateral dari Gaza,
menahan tekanan pimpinan Palestina yang baru, meningkatkan tekanan atas Hamas,
memalingkan usaha AS yang hendak mengimplementasikan peta jalan, mengalihkan
kepedulian eksternal pada proses damai dengan memfokuskan pada perkembangan di
Suriah dan Mesir. Dengan kata lain, segala langkah menuju Solusi Final masalah
Palestina akan dicegah.
Pergerakan laju Israel sesuai dengan kepentingan
strategis Amerika Serikat. Sejumlah deklarasi pejabat yang ditandatangani
pemimpin Arab menegaskan perlunya negosiasi penyelesaian yang adil; opini
publik Arab menganggap status quo sebagai tidak adil, dan dipaksakan.
Sungguh lucu sebenarnya, demokrasi yang didengung – dengungkan ternyata tidak
sama rata. Iya, pernyataan Amerika tadi berlaku bagi negara – negara macam Arab
Saudi, Yordania, dan Kuwait. Tapi, sebaliknya mereka malah mendukung dan
memforsir kekuatan untuk menggulingkan dinasti di Suriah dan Libya, serta
memukul pemimpin Mesir yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sementara itu, retorika terus mendominasi. Fokus juga
diarahkan pada diplomasi publik. Tumpang tindih dan adu propaganda jelas
tergambar saat ini. Ketika kalangan grassroot sibuk mencari celah
propaganda lewat media sosial (yang terbukti jauh lebih efisien untuk menjaring
massa dan dukungan global) dan organisasi – organisasi bawah tanah, para
pemegang kendali di balik layar sibuk mengontrol media dan membangun kekuatan
militer tersembunyi sambil berkedok memperjuangkan kedamaian bagi sekitarnya.
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
( @adityaknz ) - Alvian Aditya Kanzi