Pages

Sunday, July 7, 2013

Demokrasi Tanah Arab , Dilema Israel



Konflik. Revolusi. Propaganda. Tiga kata tersebut seakan menjadi konsumsi rutin masyarakat dunia jika berbicara mengenai kondisi negara – negara di tanah Arab.

Tanah Arab sendiri meliputi seluruh semenanjung Arab, teluk Persia, dan Afrika Utara. Meliputi negara dari Iran, Suriah, hingga Maroko. Dan tentu saja, tanah Palestina yang menjadi polemik ribuan tahun juga termasuk di dalamnya.

Apa yang terjadi di negara – negara tersebut meningkat dalam hal intensitas dan cakupan wilayah setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Lupakan tentang Perang Irak yang dicetuskan Amerika Serikat, karena kita berbicara tentang revolusi politik di Tunisia, Mesir, Libya, konflik Palestina, hingga kemungkinan masih berlanjut dalam periode yang akan datang jika melihat situasi di Turki, Suriah, Lebanon, dan (lagi – lagi) Mesir.


Suksesnya revolusi di beberapa negara yang berhasil menggulingkan pemimpin diktator mereka jelas menggiring keseluruhan dunia Arab ke wilayah politik baru bernama demokrasi. Dengan di-backing oleh teknologi masa kini yang memungkinkan propaganda tersebar cepat, luas, dan memungkinkan bertambahnya varian baru propaganda politik, demokrasi cepat atau lambat akan menjadi sesuatu yang masif dan akan berhadapan langsung dengan 2 hal yang selama ini menguasai tanah Arab : sistem Teokrasi (Kesultanan/Sheikh dan diktatoral) dan legitimasi Israel.

Untuk poin pertama, sistem Teokrasi, pertandingan 1 vs 1 melawan demokrasi sudah dimulai sejak ditiupkannya benih – benih revolusi di Arab Maghribi / Afrika Utara. Teokrasi kelas bawah seperti di Tunisia hingga diktatoral kelas kakap seperti di Libya dan Mesir sudah berhasil di-knock out. Sementara untuk poin kedua, legitimasi Israel, ini sedikit unik. Karena, demokrasi jelas tidak menyerang Israel secara langsung karena Israel justru sudah menerapkan sistem ini terlebih dulu di tanah Palestina. Tapi, Israel waswas. Poin unik yang mereka miliki malah berkembang di negara – negara oposisi, sehingga legitimasi Israel jelas terancam. Apa jadinya kalau pemimpin pilihan rakyat di Libya kelak merupakan anti-Israel? Apa jadinya kalau Perdana Menteri Turki nanti adalah seorang Islam radikal? Keberadaan mereka jelas cukup terancam, walaupun Amerika Serikat selalu siap sedia kapanpun dibutuhkan pasti akan membantu negara Zionis tersebut.

Aluff Benn, kolumnis Israel, menulis di harian Haaretz (18/4/05) bahwa “aspek yang cukup mengganggu atas demokrasi Arab adalah implikasinya bagi Israel.” Masuknya demokrasi di negara-negara Arab akan membuat Israel kehilangan karakter uniknya serta “persamaan nilai” dengan Amerika Serikat. Dengan adanya kebebasan memilih, kalangan pemilh Arab dapat saja memilih kelompok Islamis “ekstrim”.

Kelangsungan eksistensi mereka di tanah Palestina cepat atau lambat jelas terancam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat grassroot di seluruh Arab sangat membenci tindakan Israel terhadap Palestina.
Hal terpenting bagi Israel saat ini adalah mengimplementasikan penarikan unilateral dari Gaza, menahan tekanan pimpinan Palestina yang baru, meningkatkan tekanan atas Hamas, memalingkan usaha AS yang hendak mengimplementasikan peta jalan, mengalihkan kepedulian eksternal pada proses damai dengan memfokuskan pada perkembangan di Suriah dan Mesir. Dengan kata lain, segala langkah menuju Solusi Final masalah Palestina akan dicegah.

Pergerakan laju Israel sesuai dengan kepentingan strategis Amerika Serikat. Sejumlah deklarasi pejabat yang ditandatangani pemimpin Arab menegaskan perlunya negosiasi penyelesaian yang adil; opini publik Arab menganggap status quo sebagai tidak adil, dan dipaksakan. Sungguh lucu sebenarnya, demokrasi yang didengung – dengungkan ternyata tidak sama rata. Iya, pernyataan Amerika tadi berlaku bagi negara – negara macam Arab Saudi, Yordania, dan Kuwait. Tapi, sebaliknya mereka malah mendukung dan memforsir kekuatan untuk menggulingkan dinasti di Suriah dan Libya, serta memukul pemimpin Mesir yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sementara itu, retorika terus mendominasi. Fokus juga diarahkan pada diplomasi publik. Tumpang tindih dan adu propaganda jelas tergambar saat ini. Ketika kalangan grassroot sibuk mencari celah propaganda lewat media sosial (yang terbukti jauh lebih efisien untuk menjaring massa dan dukungan global) dan organisasi – organisasi bawah tanah, para pemegang kendali di balik layar sibuk mengontrol media dan membangun kekuatan militer tersembunyi sambil berkedok memperjuangkan kedamaian bagi sekitarnya.
_____________________________________________________________________________________
_____________________________________________________________________________________
@adityaknz ) - Alvian Aditya Kanzi

0 comments:

Post a Comment